Hari lebaran kedua saya beserta
sebagian keluarga mudik ke Kaur, sekitar 6 jam perjalanan dari kota Bengkulu.
Kami sampai di Rumah Tamang dan Bini dari pihak Ibu sekitar pukul 12 siang.
Akhirnya saya ketemu lagi dengan Bini setelah setahun tidak berjumpa. Senang
dan bersyukur rasanya melihat Bini sehat kembali. Saya sempat takut dan cemas
ketika Desember lalu Bini mengalami sakit yang cukup berat dan sempat dirawat
beberapa minggu di RSUD. Alhamdulillah sekarang sehat. Saya memeluknya erat.
Sorenya kami Hulu, sekitar 20
menit dari rumah tamang. Makwo, Kakak ayah, syukuran buat rumah baru. Rumahnya
sekarang bagus dan kekinian. Makwo bikin rumah lagi diusianya yang senja karna
rumah lama terbuat dari kayu dan sebagian dimakan rayap. Papan dan kayu
tersebut sudah lebih 30 tahun dan berasal dari Berang Sane.
Ketika pulang seperti ini,
seluruh keluarga biasanya berkumpul dan ngobrol sampai malam. Saya merasa hidup
itu sebetulnya ‘sederhana’. Karena biasanya yang menjadi focus perbincangan
mereka, misalnya:
- Si
A sudah SD, SMP, SMA? Kuliah dimana? *Nggak akan nanya lebih jauh tentang
detail sekolah apalagi urusan IPK, dosennya siapa, atau permasalahan rumit
lainnya.
- Si
B mau menikahkan anaknya tanggal blablablaa. Menikah dengan Si C bin D bin E.
Kerjanya dimana?
- Si
F meninggal. Karena apa? Karena penyakit, ada karena kecelakaan dan ada yang
abis melahirkan.
- Si
G selingkuh dengan Si H. Aee.. kok bisa? Nggak malu? Samelah
- Si
I jadi tentara perdamaian di Lebanon. Sekarang selesai masa tugas dan mudik ke
kampung.
- Si
J cerai sekarang kawin lagi dengan Si K.
- Anak
Si L kembar 3. Lucu banget.
- Si
M menjual tanahnya laku 1 miliar mau dijadikan tambak udang. Siapa sangka tanah
seperti itu ternyata laku semiliar. Si M kaya mendadak, beli rumah beli mobil.
Istrinya berkalung emas banyak.
Hidup ini
kadang sesimpel itu ya. Yang menjadi focus manusia adalah lahir, sekolah,
pekerjaan, pernikahan dan kematian. Kadang kita secara personal mengganggap apa
yang kita hadapi adalah permasalan yang sulit. Namun semuanya kembali lagi
kejalan takdir. Suratan tangan. Kalau kata orang disana ‘walaupun lahir dengan
bapak dan ibu yang sama, tapi masing-masing bawa jalan rezeki, jodoh, takdir
yang berbeda’. Setiap orang memiliki jalan hidup masing-masing. Hidup ini
seperti musafir. Kita berhenti sebentar di dunia, kemudian meneruskan
perjalanan. Menapaki jalan yang berbeda yang berakhir pada suatu muara.
Saat lebaran dikampung
ini, kami bersilaturahmi ke rumah sanak family. Salah satunya seorang datuk
(baca: kakek). Mukanya masih cerah dan
fisiknya masih kuat. Umurnya sudah 70an. Istrinya sudah lebih dahulu meninggal.
Dia bilang begini: “Aku sebenarnya ingin setelah naik haji, 3 atau 4 tahun
kemudian meninggal. Biar tua nggak nyusahi anak cucu”. Hal seperti ini menarik
bagi saya. Kita yang muda pengennya umur panjang dan sehat selalu, bisa
jalan-jalan kesana kemari, memenuhi keinginan ini dan itu. Namun ternyata jika
telah tua, bukan lagi umur panjang yang diinginkan, orang tua menginginkan
kematian yang mudah dan tidak menyulitkan. Setiap bertambah umur, berbeda pula
keinginan seseorang.
Setiap orang
punya kisah kehidupan masing-masing. Ada yang sangat hobi mancing dilaut. Sampai-sampai
pahanya pernah digigit hiu, dia tetap meneruskan hobinya. Ada yang
dipindahtugaskan ke daerah, tapi anaknya tetap ditempat lama. Ada yang
dilangkahi adiknya menikah. Ada yang gagal terus masuk universitas. Ada yang akan
mengadakan syukuran tanggal ini tanggal itu. Ada yang akan panen bulan
blablabla.
Saya, Ayah dan
kedua kakak sepupu juga berkesempatan ngegawangan (bahasa lainnya: nyekar) ke
makam Bini, Tamang, dan Tuyuk dari pihak Ayah di Berang Sane. Mereka telah
meninggal ketika ayah masih muda dan belum menikah. Jadi saya belum sempat
mengenal mereka. Selama saya bisa mengingat, baru kali ini saya kesana. Tapi katanya
sih saya pernah kesini waktu kecil. Letaknya jauh dari permukiman warga. Daerah
tersebut merupakan desa lama yang telah dialihkan. Tahun 1980-an pernah terjadi
banjir bandang, empat desa terkena banjir tersebut termasuk desa tempat tinggal
ayah, Gandesuli. Sehingga pemerintah mengrelokasi warga empat desa tersebut
ketempat baru. Daerah tersebut ditinggalkan. Dan sekarang semuanya telah
berganti menjadi area persawahan. Makam Bini, Tamang dan Tuyuk letaknya tidak
jauh dari bekas daerah Gandesuli tersebut. Tuyuk (ayahnya Bini) meninggal tahun
1937, karena jatuh dari pohon damar. Beliau saat itu sedang mengambil getah
damar untuk dijual untuk biaya sekolah Bini di Kota Bengkulu. Sangat berat
perjuangan orang dahulu untuk pendidikan anaknya. Saya saat itu baru sadar
ternyata sebelum kemerdekaan bini sudah sekolah jauh sekali. Naik mobil dari
Kaur ke Bengkulu aja makan waktu 6 jam. Gak kebayang kalo jaman dulu berapa
lama. Tamang dan Bini meninggal tahun 1986. Beda 37 hari jarak wafatnya. Semoga
Arwah dan amal kebaikan mereka diterima Allah dan dilapangkan kuburnya. Amin.
|
Ayyarg Luas |
Perjalanan dari
rumah Makwo untuk sampai Berang Sane harus melalui jalan raya kemudian masuk ke
gang kecil lalu jalan yang disamping kiri-kanannya hutan, kemudian melewati
perkebunan, setelah itu melewati jembatan kayu yang panjang sekali diatas
Ayyarg Luas (sungai yang luas) dan kemudian melewati persawahan lagi, kemudian
melewati jembatan gantung berbahan kayu lagi. Untungnya saat ini jalan kesana
sudah dibuat jalan setapak khas PNPM sehingga memudahkan akses motor. Kakak sepupu
saya bercerita bahwa jalan PNPM ini sangat membantu warga menggangkut hasil
bumi dengan menggunakan motor. Terimakasih PNPM. Kemudian, setelah sampai
didekat sungai kecil lainnya, kakak sepupu saya memarkirkan motor dipadang
rumput didekat sungai. Sandal-sendal juga diletakkan disana.
|
kebun kelapa |
Selanjutnya, kami
jalan nyeker melewati sungai kecil tersebut. Riak air sungai terdengar merdu,
suara burung bersahutan, mentari yang mulai naik keperaduan.
|
sungai dekat makam |
|
Airnya dingin dan jernih |
Setelah melewati
sungai tersebut kemudian melewati kubangan lumpur dan berjalan jalan setapak
sedikit menanjak dan sampailah ke makam tersebut. Disanalah akar keluarga saya
disemayamkan. Kami berdoa untuk mereka.
Setelah itu,
kami mengunjungi daerah yang dulunya adalah desa Gandesuli. Kami berjalan
keluar, melewati sungai lagi, kemudian berjalan kearah perkebunan kelapa dan
melintasi kali kecil. Dan akhirnya sampailah ke tempat yang dulunya tempat ayah
lahir, dan menghabiskan masa kecilnya. Sekarang, sepanjang mata memandang,
daerah tersebut telah berubah menjadi persawahan yang luas. Bayangkan, area
empat desa menjadi persawahan. Pengairan sawah tersebut berasal dari Ayyarg
Luas. Ayah bernostalgia. Disini ada pohon mangga, disitu rumah Tamang dan Bibi.
Rumahnya dulu bentuknya begini begitu. Disana rumah si A disana Rumah si B.
disana tempat para ibu membuat tikar dari kelapa. Saat berada disana saya
merasa bahwa dunia ini terus berputar. Semuanya mengikuti siklus kehidupan.
Senang rasanya mengetahui asal usul kita. Mempelajari kebijaksanaan dari alam.
|
Tanah yang dulunya berdiri rumah tamang dan bini |
Setelah
dari sana kemudian kami pulang ke rumah Makwo.
Setelah acara
di rumah Makwo selesai, kami kemudian ke rumah Tamang dan Bini dari pihak Ibu. Malam
harinya diadakan syukuran kelulusan S2 saya dan sepupu saya. Syukuran ini telah
diniatkan oleh Tamang. Jangan heran, di kampung saya ini memang sering sekali
syukuran. Bikin rumah syukuran, bayar nazar, syukuran kelulusan sekolah, syukuran
anak dan cucu pulang kampung, syukuran selamat dan sehat, syukuran pernikahan,
dan lainnya. Pendidikan dinilai sangat tinggi di daerah ini. Dari masa
penjajahan, masyarakat disini telah terbiasa menyekolahkan anaknya, ke desa
lain, kota lain, atau pulau lain. Para orangtua akan berusaha semaksimal
mungkin agar anaknya dapat bersekolah. Sepertinya hal tersebut sudah menjadi
adat disini. Kalau sedang bersilahturahmi ke rumah sanak family, adalah hal
yang lumrah mendengar bahwa anaknya sekolah di Bengkulu, Jakarta, Bandung,
Jogja, Solo, Semarang, dan lainnya.
Keesokan harinya,
kami kembali pulang ke kota Bengkulu. Beberapa kali masih singgah bersilaturahmi
dirumah saudara-saudara yang dilewati. Kemudian mereka ada yang memberi
beberapa botol minuman dan pempek. Haha…benar ya kata orang kalo bersilaturahmi
memperpanjang umur dan melancarkan rezeki.
Sepanjang perjalanan
saya menatap keluar jendela mobil. Mata menatap pepohonan yang asri, rumah
penduduk, kehidupan. Berpikir, berpikir, dan berpikir tentang wisdom yang
diperoleh dari perjalanan. Hidup ini sebetulnya sederhana, sesegala suatu ada
muaranya, semua permasalahan ada jalan keluarnya, bahwa takdir setiap orang
berbeda. Tidak mengapa punya keinginan dan impian karena hal tersebut merupakan
penyemangat hidup, namun segala sesuatu Tuhanlah yang menentukan. Perjalanan memang
selalu mengajarkan sesuatu yang baru. Bahkan perjalanan mudik lebaran sekalipun.